Perjanjian Pra-Nikah (Part 1)



Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah akhirnya update juga wkwk.. Sebenarnya ini karena faktor M (Males) tidak bisa sempatin waktu untuk menghayal. Hehe. Hari ini saya ingin share tentang Perjanjian Pra-Nikah. Hummm.. kamu udah tau belum sih tentang perjanjian Pra-Nikah itu? Oke disini saya jelasin sedikit, Perjanjian Pra-Nikah bisa disebut Prenuptial agreement, di Indonesia sendiri kayaknya masih asing yahh,, jarang yang pakai sepertinya. Terkadang yang terlontar dari orang lain mengenai perjanjian pranikah ini adalah celetukan seperti berikut ini: “Belum kawin kok sudah ngomongin perjanjian ini itu, bahas cerai segala, ngapain kawin kalo niatnya kayak gitu?” atau seperti ini: “Buat apa bikin perjanjian pranikah, kalau cerai ya cerai aja, gitu aja repot.” Padahal asal sahabat tau perjanjian pranikah ini banyak banget manfaatnya lho.. mau tau?? Simak yaa..
            Perjanjian pra-nikah adalah perjanjian tertulis antara calon suami dengan calon istri  yang akan melangsungkan pernikahan, mengenai harta benda selama perkawinan mereka dan konsekuensi atas berakhirnya perkawinan mereka yang menyimpangdari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.[1] Perjanjian pra-nikah di Indonesia ini belum banyak yang menggunakannya karena dianggap seperti tidak percaya dengan pasangan yang telah kita plih, perjanjian ini juga dianggap tabu bagi sebagian kalangan. Padahal perjanjian pra-nikah ini merupakan salah satu cara untuk melindungi kepentingan kamu sob,, juga menghindarkan pernikahan dari hal-hal yang tidak diinginkan pada kemudian hari. Perjanjian pranikah ini jadi semacam jaminan kepastian supaya tidak ada yang dirugikan. Perjanjian tersebut mengatur poin-poin yang disetujui kedua belah pihak. Ini penting mengingat banyak kasus perceraian yang keras karena perebutan harta gono-gini alias harta bersama dan hak asuh anak.
            Perjanjian pranikah diatur dalam Bab VII Perjanjian Perkawinan Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VII Perjanjian kawin Pasal 139-179 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, serta Bab V Perjanjian Perkawinan Pasal 29-34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum positif Indonesia tidak mengatur lebih lanjut tentang isi dan bentuk perjanjian pranikah.
            Namun, akan lebih terjamin jika perjanjian pranikah dituangkan dalam akta otentik (akta yang dibuat oleh notaries) maupun dengan perjanjian tertulis yang disertai oleh saksi dari kedua belah pihak yang kemudian dicatat oleh notaries yang disahkan oleh pengawas pencatat perkawinan, sebelum pernikahan berlangsung. Perjanjian perkawinan juga harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 tahun[2] dan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.


[1] Aditya manjorang, The Law of Love, Visimedia, 2015
[2] Pasal 73 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Komentar

Postingan Populer