Etika Berkeluarga Dan Macam-Macam Gangguan Dalam Rumah Tangga

Bismillahirrahmannirrahim..
            Hari ini saya share tentang upaya membina keluarga sakinah, mawaddah dan Rahmah. Tulisan ini hanya sedikit bagian dari skripsi saya yang membahas tentang Keutuhan Rumah Tangga dan sedikit gambaran tentang gangguan-gangguan yang ada dalam rumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis.
      Setiap orang selalu mendambakan rumah tangga yang dibinanya tetap harmonis penuh kasih sayang memperoleh kedamaian dan ketentraman, akan tetapi dalam mengarungi bahtera rumah tangga akan banyak mengalami rintangan dan ujian hingga tidak jarang pula setiap pasangan mengalami keguncangan dalam rumah tangganya. Kenyataan kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu tidak mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan setiap pasangan suami isteri sangatlah sukar.[1] Hal ini disebabkan adanya persoalan yang sering muncul dalam suatu perkawinan yakni menyatukan dua pribadi yang berbeda jenis, sifat, watak, pembawaan pendidikan dan pandangan hidup, sehingga dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut sering menimbulkan kerenggangan dan perselisihan.[2] Dari pengalaman keluarga yang lain dapat diambil pelajaran bahwa betapa bervariasinya perjalanan keluarga yang telah dilalui oleh sepasang suami istri atas dasar cinta mencintai, kasih mengasihi dan seterusnya, ternyata banyak dijumpai kegoncangan dan bahkan hancur lebur dalam perjalanannya.[3]
            Dengan demikian perkawinan tidak jarang pula membawa bencana bagi kehidupan seseorang. Percekcokan suami istri yang tiada henti-hentinya, sehingga tidak mengenakkan bagi kedua belah pihak. Perselisihan yang sering terjadi dalam rumah tangga dianggap hal yang biasa. Masing-masing pihak masih membawa egonya sendiri. Oleh karena itu tujuan perkawinan yang semula untuk saling membahagiakan berubah menjadi saling mencelakakan.[4]  Upaya untuk membangun keluarga yang tentram, sakinah mawaddah dan rahmah tumbuh dari pribadi-pribadi keluarga, juga perlu ditumbuhkan oleh lingkungan keluarga.
            Dalam upaya membina keluarga sakinah, pasangan suami istri hendaknya melaksanakan etika, antara lain sebagai berikut:
1.        Etika tanggungjawab dalam keluarga
Berkenaan dengan tanggung jawab dalam keluarga, Allah berfirman:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Qs. An-Nisaa’: 34)[5]
Dalam ayat tersebut terkandung beberapa hukum sebagai berikut:
a.                   Suami adalah sebagai pemimpin/kepala keluarga
       Menurut Jawad Mugniyah, maksud dari ayat itu tidak menunjukkan perbedaan antara laki-laki/suami dan wanita/istri, tetapi keduanya adalah sama. Ayat tersebut hanya ditujukan bahwa laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai istri, keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satupun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini bisa ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi penguasa yang otoriter.[6]
       Dalam ayat ini adalah tugas suami adalah melindungi, menjaga, membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan lain-lain. Kelebihan kaum laki-laki dalam hal kemampuan mencari nafkah dan kekuatan memberikan perlindungan telah menjadikan kaum perempuan lebih mudah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan fitrahnya, yaitu: hamil, melahirkan. Serta mengasuh anak. Maka dengan ini, kaum perempuan (para istri) dapat tentram dan sejahteraserta tercukupi seluruh kebutuhannya. Itulah sebabnya suami dijadikan sebagai pemimpin dalam keluarga. Jadi bukan karena diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.[7]
b.                    Suami sebagai penanggungjawab utama nafkah keluarga
Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah     bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah: 233)[8]

Dalam ayat tersebut bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anak. Nafkah yang dimaksud ialah memenuhi kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, sesuai dengan kemampuan suami. Karena tanggungjawab penyedia nafkah inilah diantara alasan mengapa suami menjadi pemimpin rumah tangga.[9]
Walaupun nafkah rumah tangga dilimpahkan pada suami, tetapi wanita pun boleh membantunya dalam hukum islam asal dengan persetujuan suaminya dan tidak mengganggu pelaksanaan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Wanita diperbolehkan mencari nafkah kepada suami, anak dan rumah tangganya dari hasil jerih payahnya, meskipun menafkahi keluarga itu adalah bukan kewajiban istri.
2.        Kerjasama dalam keluarga
Allah berfirman dalam surah Al-Lail ayat 3-4, yaitu:
Artinya:
“Demi penciptaan laki-laki dan perempuan, sungguh usahamu memang beraneka macam”. (Qs. Al Lail:3-4)[10]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan fungsinya yang berbeda. Namun, fungsi masing-masing dari mereka itu sama-sama penting dan semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi dan saling menyempurnakan suatu kerjasama. Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan diantara tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan. Laki-laki mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga. Rumah tangga tidak bisa berdiri kalau hanya kemauan laki-laki saja yang berlaku, atau kalau hanya kehalusan dan lemah lembut perempuan saja. penggabungan laki-laki (suami) dan perempuanlah (istri) yang menimbulkan keturunan. Dari kasih tiba gilirannya, mereka pula yang mendirikan rumah tangga serta melanjutkan keturunan.
Tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga adalah menjaga, membela, bertindak sebagai wali memberi nafkah dan sebagainya. Lain halnya dengan istri, ia justru mendapat jaminan keamanan dan nafkah. Itulah sebabnya kaum laki-laki memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian perempuan[11].
3.        Etika pergaulan dalam rumah tangga
Menurut Yusuf al-Qardawi, ciri-ciri yang menonjol di keluarga muslim tetaplah dominan kesetiaan, ketaatan, kasih sayang dan membina silaturahmi[12]. Disamping itu dalam keluarga muslim mempunyai ciri-ciri menjaga akhlak mulia yang senantiasa mengikuti tuntunan Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW. Ungkapan Yusuf al-Qardawi tersebut bisa tampak jika suati keluarga dapat menciptakan suatu rumah tempat tinggal seperti yang dikatakan oleh Nabi SAW, “Rumahku adalah surgaku”. Ciri-cirinya adalah menurut Prof. Dr. Husni Rahim, bahwa setiap anggota keluarga merasa senang, bahagia, aman, saling mencintai, saling menjaga, setiap anggota keluarga selalu terpanggil dan ingin pulang ke rumah, karena rumah bukan hanya sekedar tempat berteduh ketika hujan dan panas tapi juga lebih dari semuanya itu rumah adalah tempat menenangkan hati yang gelisah, tempat pembinaan keluarga serta tempat menumbuhkan ikatan batin antara penghuninya.[13] Oleh karena itu tata dan aturlah rumah agar menyenangkan semua anggota keluarga. Diskusikan bersama mengenai warna dan tata letak perabot rumah tangga yang akan menyenangkan semua anggota. Maksudnya ialah agar rumah menjadi surga untuk suami dan anak-anak pun betah dirumah. Mewujudkan suasana surgawi itu memang tidaklah mudah, namun dengan cinta hal itu bisa diwujudkan.
4.        Etika suami istri
Diantara bermacam-macam kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupannya, kebutuhan kepada perkawinan termasuk kebutuhan vital. Kehendak ingin berhubungan akrab termasuk motif bagi manusia, atau termasuk kebutuhan vital biologis, yaitu kehendak naluriah setiap makhluk hidup untuk melanjutkan hidupnya berketurunan dan berkembangbiak.
5.        Etika dalam upaya membentuk keluarga muslim yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
Untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, diupayakan agar suami istri dan anak-anak dalam suatu rumah tangga melakukan, antara lain sebagai berikut:
a.       Setia, saling mencintai dan saling menyayangi seperti dalam ayat berikut:  
Artinya:
            Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Ruum: 21)[14]

b.      Saling menghormati dan saling menghargai, percaya mempercayai, bantu membantu, dan seiya sekata dalam memikul tugas kerumahtanggaan
c.       Saling pengertian dan saling memahami
d.      Saling menghormati keluarga masing-masing
e.       Pasangan suami istri menjadi teladan bagi anak-anak dan keluarga lainnya yang ada dalam rumah
f.       Suami istri hendaklah bermusyawarah dan transparan dalam segala hal. Jika ada kesulitan hendaklah dibicarakan dengan hati terbuka, tidak segan meminta maaf jika merasa diri bersalah, karena yang demikian itu akan menambah kalahnya hubungan cinta kasih.
g.      Melaksanakan ibadah dengan baik dan membiasakan shalat berjamaah dengan keluarga
h.      Menyiapkan rumah yang memenuhi kesehatan, agar suami dan anak-anak betah dirumah.
i.        Menjadikan rumah dapat berperan untuk membina generasi muda
j.        Menjadikan rumahtangga yang dapat mengelola keuangan keluarga dengan baik, sesuai dengan pendapatan, tidak boros dan tidak kikir
k.      Tidak egois, dan dapat memahami kelemahan dan kekurangan masing-masing.

6.        Etika pemecahan problematika dan kenanggulangan konflik dalam keluarga
a.         Pernikahan harus diawali dengan niat karena Allah. Bagi mereka yang akan memasuki jenjang kehidupan rumah tangga hendaknya diawali dan diingat bahwa membina rumahtangga merupakan ibadah.
b.        Penataan kembali rumahtangga sebelum hancur berantakan jatuh ke jurang kesengsaraan lahir dan batin dengan berbagai upaya antara lain:
-          Mengadakan introspeksi, evaluasi, dan musyawarah seluruh anggota keluarga yang bisa diajak bicara, mencoba mencari titik temu, dan mengembangkan persamaan persepsi tanpa mengungkit perbedaan satu sama lain.
-          Memperbaiki dan meningkatkan semangat kerja dan memperbaiki ekonomi rumahtangga. Ekonomi rumah tangga adalah tulang punggung keluarga. Dukungan kesejahteraan ekonomi tidak sedikit andilnya dalam membina kerukunan rumah tangga, walaupun tidak selalu esensial.
-          Meminta orangtua mereka yang dianggap bijaksana, ikut menengahi dan memberikan pandangan, tetapi harus disertai kesediaan semua anggota keluarga. Orang tua jang menyalahkan atau mencari kesalahan salah satu pihak, tetapi hendaknya memberi arahan yang tidak membingungkan dan menjunjung norma-norma kemanusiaan serta norma agama dengan cara yang menumbuhkan optimis.
-          Meminta nasehat para ulama, kiai, atau ustadz. Mereka biasanya lebih paham dan menyampaikannya dengan kasih sayang. Juga hendaknya tidak berprasangka buruk.
-          Meminta nasehat pada badan penyuluh, penasihat perkawinan, dan perceraian (BP4), pengalaman mereka bisa dijadikan nasehat untuk kerukunan keluarga.
-          Meminta nasihat Lembaga Bantuan Hukum dan Keluarga.
-          Konsultasi dengan  psikolog, dalam keadaan tertentu psikolog perlu dimintai pertimbangannya, bagaimana menganalisis dan memecahkan masalah kehidupan rumah tangga dengan baik, jelas dengan mengetahui karakter anggota keluarga, kemungkinan memahami dan menyelesaikan akan lebih terarah.
-          Konsultasi dengan dokter ahli jiwa jika diperlukan bila mana salah satu pihak terganggu kejiwaannya. Demi rukun kembali bisa dirujuk.
       Semua keluarga menemukan berbagai problem dan mengalami konflik pribadi, maupun problem dan konflik antar keluarga. Hal ini wajar, apalagi latar belakang kedua pasangan berbeda adat dan kepribadiannya. Untuk mewujudkan keluarga sakinah dan bahagia masing-masing harus berupaya memecahkan problem dan menyelesaikan konflik itu dengan baik, atau setidaknya memperkecil konflik itu dengan baik sehingga tidak meluas.


Gangguan-gangguan yang sering terjadi dalam Rumah Tangga
1.        Gangguan-Gangguan Atas Kerukunan
            Banyak suami dan istri benar-benar sungguh dalam keinginan mereka untuk membina dan mempertahankan suasana rukun dan damai serta serasi diantara mereka. Dan banyak dari mereka melakukan usaha kearah terwujudnya situasi yang diidam-idamkan itu, walaupun usaha tersebut biasanya dilakukan tanpa rencana, tanpa ilmu dan tanpa pengalaman. Walaupun keinginan dan usaha itu serius, namun dalam kenyataannya kerukunan itu kadang-kadang tidak berhasil diciptakan dan kalau sudah ada, sering mengalami gangguan. Kerukunan dan keserasian dalam rumah tangga ada kalanya terancam oleh gangguan-gangguan hingga timbul keinginan untuk bercerai.[1]
            Meski demikian, cerai itu diperbolehkan dalam islam. Rasulullah saw, menyatakan bahwa perceraian itu diperbolehkan meski dibenci Allah. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa cerai ada dan dibolehkan oleh islam? kita tahu bahwa setiap perintah dan larangan yang ada dalam islam pasti mengandung hikmah (blessing in disguise),[2] ada pesan moral yang disampaikan oleh Allah SWT kepada kita umatnya, tidak terkecuali permasalahan cerai ini. Gangguan atau problem rumah tangga yang terjadi Pertama, ketika si dia berbeda setelah menikah, ketika dulu saat berpacaran, yang tampak adalah sesuatu yang baik, yang menyenangkan, yang penuh dengan cinta, namun bisa jadi dalam perjalanan rumah tangga hal itu bisa saja berubah.[3] Kedua, mudah dipengaruhi orang lain. Ini juga bisa jadi masalah. Pasangan suami-istri jangan mudah termakan oleh omongan orang lain, jika salah satu pasangan mudah terpancing maka bisa jadi rumah tangga akan penuh dengan prahara. Pasangan anda akan mendadak berubah karena anda lebih mempercayai orang lain ketimbang suami atau istrinya sendiri. Ketiga, bisa jadi pasangan merasa bosan, masalah-masalah kecil seperti mencuci piring, atau hanya sekedar pakaian kotor pun bisa menjadi masalah yang besar jika tidak segera ditangani. Keempat, berubahnya pasangan bisa dikarenakan kurang bagusnya melayani nafkah batin. Kelima,  pasangan juga dapat berubah bisa disebabkan terjangkiti oleh penyakit hedonis-matrealistik yang memandang segala sesuatu dari undur kebendaan dan materi.[4] Keenam, punya wanita idaman lain ata pria idaman lain,[5] jika sudah menikah dan membangun hidup bersama, maka kisah cinta masa lalu yang pernah terjadi baik suami maupun istri harus benar-benar dikubur dalam-dalam. Jangan pernah diungkit-ungkit lagi. Jika masih sering menyebut mantan pacar atau mantan istri sebelumnya, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan kecemburuan dan rumah tangga pun akan goyah. Ada beberapa tahapan dalam perselingkuhan, yaitu:
1.        Tahapan ketertarikan,
       Ketertarikan disini bisa jadi tertarik dengan fisiknya, ataupun kepribadiannya, atau mungkin mirip masalalunya.
2.        Timbul rasa ketergantungan
       Setelah tertarik lalu timbul rasa ketergantungan, karena dia WIL/PIL ini selalu bersikap ramah, sopan, juga welcome atau memberikan lampu hijau untuk dekat dengannya. Akhirnya rasa itu muncul dalam diri untuk selalu ingin didekatnya, lama kelamaan rasa cinta dari hubungan terlarang itu terus melekat dan bisa menjerumuskan dalam lembah kenistaan.
          Selanjutnya yang Ketujuh Karena sama-sama sibuk, biasanya suami yang sering dinas diluar kota atau seorang pembisnis yang urusannya selalu keluar, atau seumpama karyawan dikantor, dalam perkumpulan, atau dalam asrama. Kedua pasangan harus sama-sama saling mengerti juga memahami, menyesuaikan pasangan dengan keadaan, asal jangan ada yang merasa paling berjasa dalam rumah tangga.[6] Kedelapan, komunikasi eror, carilah istri yang pintar secara intelektual karena istri yang pintar mampu menjalin komunikasi yang bagus, tapi jika istri kurang bagus dalam intelektual mereka cenderung wait and see menunggu dan melihat saja dan menunggu kebijakan suami. Ia cenderung menurut dan sami’na wa atha’na atas apa saja yang diputuskan oleh suami. Masalahnya jika hasil dari kebijakan suami yang tidak sesuai dengan harapan istri. Padahal ketika suami mengajak musyawarah, diskusi, istri tidak nyambung. Giliran wujud dari kebijakan suami, istri tidak mau menerima. Jika sudah begini, muncul ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Selain itu komunikasi yang eror juga dikarenakan ketertutupan masing-masing pihak. Istri merasa bahwa masalah-masalah yang ada dalam rumah tangga tidak harus diungkapkan pada suami. Sebaliknya, anda sebagai suami juga menganggap bahwa masalah-masalah anda tidak harus diutarakan pada istri. Akhirnya, masing-masing pihak sama-sama terdiam dalam kebisuan.[7]


[1] Ibid, hlm. 92
[2] Ust. Ahmad Zacky Mustafa dan Faizah Ulfah Choiri, Halal Tapi Dibenci Allah (seluk    beluk Talak/Cerai Menurut Ajaran Islam), Yogyakarta: Mutiara Media, cet-I, 2015. Hlm. 101
[3] Ibid, hlm 33
[4] Zacky Khairul Umam, Adonis Gairah Membunuh Tuhan Cendikiawan Arab-Islam, Depok,          Jawa Barat:Kepik, Hlm. 77
[5] Loc.cit. hlm. 41
[6] Ibid. hlm. 56
[7] Ibid. hlm 59


   [1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm 1
   [2] Djamil Latif, Aneka Perceraian di Indonesiaa (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm 29
   [3] Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka                Pelajar,1995), hlm.3
   [4] Wannimaq Habsul, Perkawinan Terselubung di Antara Berbagai Pandangan, (Jakarta:               Golden Terayon Prese,       1994), hlm 1
   [5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, Maghfirah Pustaka, 2006, hlm 84
   [6] Muhammad Jawad Mugniyah, Tafsir al-Kahfi, (Beirut: Darul-Islam Lil-Malayin,1968), cet. I, Jilid II, hlm.314
   [7] Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung: Penerbit Angkasa, kerja sama dengan UIN Jakarta Press UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005),cet. I, hlm. 143.
   [8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Maghfitah Pustaka, 2006, hlm 37
   [9] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Suami dan Istri, ‘Hukum Perkawinan I’(Yogyakarta, AKADEMIA, 2004), hlm 169
   [10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Maghfirah Pustaka, 2006, hlm 595
   [11] Huzaemah Tahido Yanggo, Loc.cit  hlm.137&138.
   [12] Yusuf al-Qardawi, Syariat Islam Ditantang Zaman, hlm 44
   [13] Husni Rahim, Perbedaan Memperkuat Tali Pernikahan (Jakarta:t.p.,2007M/1428H), hlm.74
   [14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Maghfirah Pustaka, 2006, hlm 406

Komentar

Postingan Populer